Aqiqah, penyembelihan hewan ternak untuk merayakan kelahiran bayi, merupakan tradisi yang telah lama dilakukan oleh umat Muslim. Namun, status hukumnya—apakah wajib atau sunnah—seringkali menjadi perdebatan. Artikel ini akan menelusuri berbagai pendapat ulama dan dalil yang mendukungnya, memberikan pemahaman yang lebih komprehensif mengenai hukum aqiqah. Pembahasan akan disertai rujukan yang relevan dan detail untuk memberikan landasan yang kuat bagi pembaca.
1. Dalil-Dalil yang Menunjukkan Aqiqah sebagai Sunnah
Mayoritas ulama, khususnya mazhab Syafi’i, Maliki, dan Hanbali, berpendapat bahwa aqiqah hukumnya sunnah muakkadah. Sunnah muakkadah adalah sunnah yang sangat dianjurkan untuk dilakukan, mendekati hukum wajib, namun tidak sampai pada level wajib. Pendapat ini bersandar pada beberapa dalil, antara lain:
-
Hadits Nabi SAW: Hadits-hadits yang menyebutkan tentang aqiqah banyak diriwayatkan oleh berbagai periwayat. Salah satu hadits yang terkenal adalah riwayat dari Ibnu Abbas RA yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Setiap anak terikat dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya kambing pada hari ketujuh, dicukur rambutnya, dan diberi nama.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan an-Nasa’i). Hadits ini menunjukkan anjuran yang kuat untuk melakukan aqiqah, namun tidak secara eksplisit menyebutnya wajib.
-
Praktik Nabi SAW dan Para Sahabat: Riwayat sejarah menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW sendiri melakukan aqiqah untuk kedua cucunya, Hasan dan Husain. Para sahabat beliau pun turut mempraktikkan aqiqah. Praktik ini, meskipun bukan dalil mutlak, memperkuat pandangan bahwa aqiqah merupakan amalan yang dianjurkan. Namun, penting untuk dicatat bahwa praktik Nabi dan sahabat tidak selalu menunjukkan kewajiban suatu amalan.
-
Istinbath (Penarikan Hukum): Beberapa ulama melakukan istinbath (penarikan hukum) dari hadits-hadits yang menjelaskan tentang aqiqah. Mereka berpendapat bahwa hadits-hadits tersebut menunjukkan anjuran yang sangat kuat, sehingga hukumnya dianalogikan sebagai sunnah muakkadah. Proses istinbath ini didasarkan pada pemahaman yang mendalam terhadap hadits dan konteksnya. Namun, perlu diingat bahwa istinbath dapat menghasilkan interpretasi berbeda di kalangan ulama.
2. Pendapat Ulama yang Mengatakan Aqiqah Wajib
Meskipun sebagian besar ulama berpendapat bahwa aqiqah sunnah muakkadah, beberapa ulama, khususnya dari mazhab Hanafi, berpendapat bahwa aqiqah wajib bagi orang yang mampu. Pendapat ini didasarkan pada interpretasi tertentu terhadap hadits-hadits yang berkaitan dengan aqiqah dan analogi dengan beberapa amalan lain yang dianggap wajib.
Argumentasi mereka seringkali berfokus pada kata-kata dalam hadits yang dianggap menunjukkan kewajiban. Namun, interpretasi ini seringkali dibantah oleh ulama mazhab lain yang menekankan pada konteks hadits dan kekuatan redaksi yang digunakan. Perbedaan interpretasi ini menunjukkan kompleksitas dalam memahami teks agama dan menafsirkan hukum.
Argumentasi wajibnya aqiqah juga seringkali dikaitkan dengan janji Allah SWT terhadap hambanya untuk memberikan rezeki. Sebagian ulama berpendapat bahwa karena Allah SWT telah menjanjikan rezeki, maka kewajiban aqiqah perlu dipenuhi sebagai bentuk syukur atas kelahiran anak dan nikmat yang telah diberikan. Namun, argumentasi ini juga masih terbuka untuk berbagai interpretasi.
3. Perbedaan Pendapat dan Konteksnya
Perbedaan pendapat mengenai hukum aqiqah—wajib atau sunnah—menunjukkan kekayaan dan kerumitan dalam memahami ajaran Islam. Tidak ada satu interpretasi pun yang sepenuhnya benar atau salah. Perbedaan ini muncul karena berbagai faktor, termasuk:
-
Perbedaan Metodologi Penafsiran Hadits: Ulama berbeda metode dalam memahami dan menafsirkan hadits. Perbedaan ini dapat menyebabkan perbedaan pemahaman terhadap hukum aqiqah.
-
Perbedaan Pendapat dalam Analogi Hukum: Penggunaan analogi (qiyas) dalam menentukan hukum seringkali menimbulkan perbedaan pendapat, karena terdapat ruang interpretasi yang luas.
-
Perbedaan Prioritas dalam Mengamalkan Ajaran Islam: Ulama mungkin memiliki prioritas yang berbeda dalam mengamalkan ajaran Islam. Beberapa ulama mungkin lebih menekankan pada amalan yang lebih fundamental, sementara yang lain mungkin menekankan pada amalan-amalan yang dianggap lebih penting dalam konteks tertentu.
4. Hikmah dan Manfaat Aqiqah
Terlepas dari perdebatan mengenai hukumnya, aqiqah memiliki banyak hikmah dan manfaat, baik secara spiritual maupun sosial:
-
Syukur kepada Allah SWT: Aqiqah merupakan bentuk syukur kepada Allah SWT atas karunia anak yang telah diberikan.
-
Doa untuk Anak: Aqiqah diharapkan dapat menjadi doa untuk keselamatan dan keberkahan bagi anak.
-
Memberi Makan Orang Miskin: Daging aqiqah dibagikan kepada fakir miskin, sehingga memiliki aspek sosial yang positif dalam mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kepedulian sosial.
-
Meningkatkan Rasa Syukur: Melakukan aqiqah dapat meningkatkan rasa syukur kepada Allah SWT atas segala nikmat yang diberikan.
-
Mendidik Anak Mengenai Syariat Islam: Melakukan aqiqah juga dapat menjadi sarana mendidik anak tentang syariat Islam sejak dini.
5. Tata Cara Pelaksanaan Aqiqah
Meskipun hukum aqiqah masih diperdebatkan, tata caranya telah tergambar dengan jelas dalam hadits dan praktik Nabi SAW. Secara umum, tata cara aqiqah meliputi:
-
Hewan Kurban: Untuk anak laki-laki, disembelihkan dua ekor kambing, sedangkan untuk anak perempuan, seekor kambing. Jika orang tua mampu, bisa juga menyembelihkan lebih dari itu.
-
Waktu Pelaksanaan: Sebaiknya dilakukan pada hari ketujuh kelahiran anak. Namun, jika terlambat, masih diperbolehkan untuk melakukannya.
-
Niat: Sebelum menyembelih hewan, hendaknya diniatkan untuk aqiqah.
-
Pembagian Daging: Daging aqiqah dibagi menjadi tiga bagian: satu bagian untuk keluarga, satu bagian untuk tetangga dan kerabat, dan satu bagian untuk fakir miskin.
-
Mencukur Rambut Bayi: Rambut bayi dicukur dan ditimbang, kemudian disedekahkan senilai berat rambut tersebut.
6. Kesimpulan Praktis bagi Umat
Meskipun terdapat perbedaan pendapat mengenai status hukum aqiqah, mayoritas ulama berpendapat bahwa aqiqah adalah sunnah muakkadah. Sebagai amalan yang sangat dianjurkan, melakukan aqiqah merupakan tindakan yang sangat dianjurkan. Namun, jika karena suatu hal seseorang tidak mampu melakukannya, maka tidak perlu merasa berdosa. Yang terpenting adalah niat dan kesungguhan untuk melaksanakan ajaran agama sesuai dengan kemampuan. Lebih baik fokus pada pengamalan ajaran-ajaran Islam yang wajib dan utama terlebih dahulu. Penting bagi setiap muslim untuk terus menuntut ilmu dan mengkaji berbagai pendapat ulama untuk memperoleh pemahaman yang lebih komprehensif mengenai berbagai hukum dalam Islam.